Minggu, 05 Desember 2010

PADA SEBARIS HUJAN

Pada sebaris hujan, kita masuki cakrawala
dengan payung terbuka
tanpa layung senja. Terpa angin meninggalkan
jejak dingin di dada kita.
Engkau menggigil di jantungku.
Jutaan tetes air berterbangan
seperti tangis terbebas dari kesedihan
seperti bungabunga
tumpah dari jambangan. Mengisi hatimu yang bimbang
mengubahmu jadi tembang. Rintik merdu.
Sebulir hujan menggantung di ujung payung
sebuah kilau, seolah
cahaya yang tersimpan. Sebutir doakah?
Kumasuki kelambu hujan
di mana airmatamu menggenggam rindu.
Waktu lalu mendesak. Serasa singkat.
Rembang pun berlalu, saat benderang lampulampu
… dan hujan berpamitan  di jendela senja
yang perlahan menutup payung kita
dengan sebuah pelukan.

TAK PERNAH BERLALU

Mungkin aku memang lemah
Mungkin aku tak pernah punyai lelah
Saat ku terdiam menangisi pergimu
Terus ku terpaku oleh harapan semu
Sepertinya… t’lah cukup banyak kutulis
T’lah cukup dalam hati ini kuiris
Agar bisa kucoba lagi cinta dari mula
Dengan ia yang mampu merasakannya
Namun cinta untukmu terus bertahan
Di sekeping sisa hati ini pun cinta untukmu kurasakan
Kerinduan hadirmu tak pernah bisa hilang
Oh Tuhan… bagaimana semua ini harus kuartikan ?

SEORANG PENYAIR

.Apa yang dapat diberikan seorang penyair ?
.Saat tak ada sesuatu yang dapat mengilhami
.Ketika realita tak cukup untuk menginspirasi
.Matikah ia…. bersama syair-syair lama yang t’lah lapuk
.dan kehilangan pembaca ?
.Apa yang harus dilakukan seorang penyair ?
.Saat kosong memenuhi imaji
.Saat sendiri juga tak cukup berikan ruang untuk kehadiran satu puisi
.Tak pantas lagikah ia… tetap disebut penyair walaupun tak lagi mampu
.untuk tetap bersyair ?
Setelah lama tidak menulis satu pun puisi, satu tulisan di atas adalah sebuah curahan hati dari saya tentang keadaan yang terjadi di sekian waktu ini.